Infokita Investigasi,Jakarta – Warga Jakarta Barat kian dibuat resah oleh ulah sekelompok penagih utang yang dikenal dengan sebutan “Mata Elang” (matel). Aksi perampasan kendaraan secara paksa di kawasan Cengkareng dan Daan Mogot makin nekat dan brutal, hingga menyeret korban pengeroyokan dari anggota organisasi masyarakat (ormas).
Insiden terbaru yang memicu kemarahan publik terjadi siang ini, Senin (10/11/2025), ketika seorang anggota Ormas BPPKB Banten dikabarkan dikeroyok oleh sejumlah orang diduga Mata Elang hingga babak belur dan sempat tak sadarkan diri di jalan. Aksi itu menimbulkan gelombang kemarahan di masyarakat dan membuka kembali perdebatan lama: apakah para Mata Elang ini masih bekerja dalam koridor hukum atau sudah berubah menjadi “begal berseragam debt collector”?
Modusnya Mirip Begal, Tapi Mengaku Penagih Utang
Menurut laporan yang dihimpun, modus operandi para Mata Elang biasanya dengan memepet kendaraan di jalan, menunjukkan surat kontrak kredit, lalu menarik paksa kendaraan tanpa proses hukum yang sah. Banyak di antara korban mengaku diintimidasi bahkan diancam, seolah pelaku kebal hukum.
“Tindakan mereka bukan lagi penagihan, tapi perampasan di ruang publik,” ujar Ketua Pokja Kepolisian Jakarta Barat, Teuku Faisal kepada awak media.
Menurutnya, praktik seperti ini masuk kategori tindakan vigilante atau main hakim sendiri, yang berpotensi mengancam ketertiban umum dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.
Polisi Diminta Tegas, Warga Pertanyakan Sikap Penegak Hukum
Meningkatnya aksi kekerasan ini membuat publik menyoroti kinerja aparat kepolisian. Seorang warga Cengkareng bernama Toni mengaku pernah menjadi korban perampasan motor oleh kelompok Mata Elang saat bekerja.
“Saya sempat melawan. Tapi malah dibawa ke Polsek Cengkareng. Anehnya, saya merasa polisi justru seperti membela si Mata Elang,” kata Toni dengan nada kecewa.
Ia pun mempertanyakan, apakah ada pembiaran atau bahkan “bekingan” yang membuat kelompok ini bisa bergerak sebebas itu di jalanan.
Polisi Janji diminta Bertindak Tegas
Seharusnya Polisi tidak mentolerir tindakan premanisme berkedok penagihan utang.
“Setiap bentuk kekerasan dan penarikan paksa di jalan tanpa dasar hukum akan kami tindak sesuai pasal pidana yang berlaku.
Masyarakat di imbau untuk segera membuat laporan polisi bila menjadi korban.
Polisi mengaku telah menindak beberapa oknum Mata Elang yang bertindak di luar prosedur, serta mengingatkan perusahaan pembiayaan agar menggunakan mekanisme hukum yang benar dalam penarikan kendaraan.
Penarikan Paksa Tanpa Putusan Pengadilan Adalah Pidana
Berdasarkan Pasal 365 KUHP, tindakan merampas barang milik orang lain dengan ancaman atau kekerasan termasuk perampokan. Jika disertai intimidasi atau pemerasan, bisa dijerat dengan Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan.
Sementara, menurut hukum perdata, eksekusi barang jaminan hanya bisa dilakukan melalui putusan pengadilan (fiat eksekusi), bukan di jalan umum.
“Selama belum ada penetapan pengadilan, penarikan kendaraan di jalan itu ilegal. Apalagi jika dilakukan dengan kekerasan. Ini sudah melanggar hukum pidana,” tegas Faisal.
Krisis Kepercayaan dan Ancaman Konflik Sosial
Faisal menilai, jika aparat tidak segera bertindak tegas dan transparan, potensi konflik horizontal bisa meningkat. Apalagi jika masyarakat mulai melakukan perlawanan terhadap aksi-aksi Mata Elang yang dianggap sudah seperti begal legal.
“Fenomena ini bukan hanya soal kredit macet, tapi sudah menjadi masalah sosial. Ada potensi vigilante justice dari masyarakat karena hilangnya rasa aman,” ujar Haris.
Warga Menanti Ketegasan Nyata
Kini, masyarakat Jakarta Barat menunggu langkah nyata kepolisian membersihkan jalanan dari aksi premanisme berkedok penagihan utang.
Sebab bagi warga, rasa aman jauh lebih penting daripada alasan kontrak kredit.
“Kalau hukum tak ditegakkan, nanti semua orang bisa jadi ‘mata elang’ seenaknya,” kata Faisal menutup percakapan dengan media.
Aksi Mata Elang menggambarkan pergeseran fungsi sosial dari penegakan hukum formal ke hukum jalanan (street justice). Ketika aparat gagal memastikan keadilan prosedural, kelompok seperti ini tumbuh memanfaatkan celah hukum dan lemahnya pengawasan, menjadi simbol "otoritas alternatif" di ruang publik berbahaya karena menciptakan normalisasi kekerasan atas nama penagihan.
(Red)
